BAB I
PENDAHULUAN
A.
SEJARAH
HUBUNGAN PERBURUHAN
Di Indonesia riwayat hubungan perburuhan
diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni zaman perbudakan, rodi, dan
poenale sanksi (sanksi poenale). Perbudakan adalah suatu peristiwa dimana
seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain. Para
budak ini tidak memiliki hak atas kehidupannya. Para budak hanya memiliki
kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang diperintahkan tuannya. Pemilik budak
merupakan satu – satunya pihak yang mendominasi antara pemberi dan penerima
pekerjaan.
Perbudakan
pada zaman dahulu disebabkan karena para raja, pengusaha yang mempunyai ekonomi
kuat membutuhkan orang yang dapat mengabdi padanya, sementara penduduk miskin
yang berkemampuan secara ekonomis saat itu cukup banyak yang disebabkan oleh
rendahnya kualitas sumberdaya manusia, sehingga tidak mengherankan perbudakan
hidup tumbuh dengan subur.
Perbudakan sebagai bentuk pengerahan
tenaga kerja yang tidak manusiawi dan tercela tersebut mulai mendapat perhatian
dari Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa saat itu yakni T.S Raffles yang
dikenal anti perbudakan, upaya untuk penghapusan perbudakan saat itu dilakukkan
dengan mendirikan suatu lembaga yang disebut The Java Benevolent Institution.
Rodi merupakan kerja paksa yang
dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan
tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas perikemanusiaan. Pada kerajaan –
kerajaan di Jawa, rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan kepentingan
anggota keluarhanya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan
umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dan sebagainya. Hendrik
Willem Daendels (1807-1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat
jalan dari Anyer sampai Banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati karenanya tidak
terbilang.
Poenele sanksi terjadi karena adanya
kebijaksanaan Agrarische Wet tahun 1870 yang berimplikasi pada ketersediaan
lahan perkebunan swasta yang sangat besar. Untuk menjamin perusahaan ini
membutuhkan buruh yang tetap dapat melakukan pekerjaan maka di dalam Algemenen
Politie Strafreglement dicantumkan ketentuan (stb 1872 no.111) yang menetapkan
bahwa buruh yang tiada dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau
menolak melakukan pekerjaan dapat dipidana dengan denda antara Rp16 sampai
Rp25,- atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari. Pengenaan hukuman
kepada buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan inilah yang disebut dengan
“Poenale Sanksi”
read more
Dalam hukum perburuhan dekenal dengan
adanya Pancakrida Hukum Perburuhan yang merupakan perjuangan yang harus dicapai
yakni :
1. Membebaskan
manusia Indonesia dari perbudakan, perhambaan
2. Pembebasan
manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa
3. Pembebasan
buruh/pekerja Indonesia dari poenale sanksi
4. Pembebasan
buruh/pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan
5. Memberikan
posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha
Krida satu sampai dengan krida ketiga
secara yuridis sudah lenyap bersamaan dengan dicetuskannya proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian yakni 18 Agustus
ditetapkannya UUD 1945 yang didalam pasal 27 ayat 1 membuat jaminan kesamaan
warga negara dalam hukun dan pemerintahaan. Sedangkan krida ke empat sampai
dengan saat ini setidak tidaknya dari kajian empiris atau sosiologis belum
dapat dicapai.
Untuk mencapai krida keempat yakni
membebaskan buruh/pekerja dari takut kehilangan pekerjaan, maupun krida kelima
memberikan posisi yang seimbang antara buru/pekerja dan pengusaha, menurut
hemat penulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yakni :
1. Pemberdayaan
serikat buruh/pekerja khususnya di tingkat unit/perusahaan
2. Pemberdayaan
pekerja dan pengusaha
3. Penegakan
hukum (law enforcement)
4. Secara
normatif
Upaya untuk mengganti perundang –
undangan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di
bidang ketenagakerjaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1998 yang
melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi pekerja, pengusaha, LSM, dan
para pakar yang yang melahirkan dua rancangan undang – undang yakni RUU
Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Bila dikaji secara mendalam mengenai
substansi RUU PPHI tersebut sebenarnya kurang berasalan untuk menolaknya karena
isinya yang jauh lebih maju dari segi perlindungan hukum kepada para pihak
khususnya pihak buruh/pekerja. Dalam RUU tersebut setidaknya dapat dicatat 4
hal penting yang sebelumnya tidak diatur yakni :
1. Adanya
pengaturan yang jelas mengenai batas waktu penyelesaian industrial melalui
mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi yakni paling lama 40 hari.
2. Tidak
memungkinkan adanya campur tangan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan
karena adanya pengaturan mengenai penyelesaian sengketa berdasarkan
kesepakatan para pihak melalui mediasi,
konsiliasi, dan arbitrasi.
3. Memungkinkan
setiap pekerja untuk menjadi para pihakdalam penyelesaian perselisihan, hal ini
sejalan dengan UU no.21 Tahun 2001 mengenai organisasi pekerja/buruh yang
didalamnya mengatur mengenai hak berserikat yang dapat pula diartikan menjadi
hak untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja.
4. Lebih
menjamin rasa keadilan bagi pekerja maupun pengusaha karena penyelesaian yang
ditawarkan dapat dilakukan melalui jalur nonltigasi maupun litigasi, dengan
demikian memungkinkan para pihak untuk memilih jalur penyelesaian sesuai dengan
yang diinginkannya
B.
INTERVENSI
PEMERINTAH DAN SIFAT HUKUM PERBURUHAN / KETENAGAKERJAAN
Pada awal kemerdekaan, perjuangan bangsa
Indonesia masih lebih banyak tertuju pada perang revolusi untuk mempertahankan
kemerdekaan melawan bangsa penjajah yang ingin menjajah bangsa Indonesia
kembali, sehingga produk-produk hukum sebagi pelaksanaan amanat UUD 1945,
khususnya pasal 27 ayat (2) tentang hak warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan belum dapat terealisir. Ketentuan
mengenai perburuhan saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial
yakni Burjgelijk Wetboek (KUH Perdata) berdasarkan ketentuan pasal II Aturan
Pengalihan UUD 1945 yakni segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku sepanjang belum digantikan dengan yang baru.
Ketentuan Perburuhan dalam KUH Perdata
diatur dalam buku III, Bab 7A, bagian pertama sampai bagian kelima. Peraturan
perburuhan dalam KUH Perdata bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang
membuatnya sehingga dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia.
Majikan sebagai pihak yang kuat secara
sosial ekonomi akan selalu menekan pihak buruh yang berada pada posisi yang
lemah/rendah. Atas dasar itulah, pemerintah secara berangsur – angsur turut
serta dalam menangani masalah perburuhan melalui berbagai peraturan dibidang
perburuhan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan
kewajiban pengusaha maupun pekerja/buruh.
Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang
perburuhan ini adalah untuk mewujudkan perburuhan yang adil, karena peraturan
perundang – undangan perburuhan memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai
manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya,
kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus
memperhatikan kepentingan pengusaha/majikan yakni kelangsungan perusahaan.
Intervensi Pemerintah dalam bidang
Perburuhan melalui peraturan perundang – undangan tersebut telah membawa
perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi gandayakni
sifat privat dan publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya
hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara
buruh/pekerja dengan pengusaha/majikan. Sedangkan sifat publik dari hukum
Perburuhan dapat dilihat dari:
1. Adanya
sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang perburuhan/ketenagakerjaan.
2. Ikut
campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).
Kehadiran
UU no.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memberikan nuansa baru dalam
kashana hukum perubahan/ketenagakerjaan yakni :
1. Menjajarkan
istilah buruh/pekerja, istilah majikan diganti menjadi pengusaha dan pemberi
kerja;
2. Menggatikan
istilah perjanjian perburuhan (labour agrement)/Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
dengan istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berupaya diganti dengan
alasan bahwa perjanjian perburuhan berasal dari negara liberal yang sering kali
dalam perbuatannya menimbulkan benturan kepentingan antara pihak buruh dengan
majikan.
3. Sesuai
dengan perkembangan jaman memberikan kesetaraan antara pekerja wanita/pria,
khususnya untuk bekerja pada malam hari.
4. Memberikan
sanksi yang memadai serta menggunakan batasan minimum dan maximum, sehingga
menjamin kepastian hukum dalam penegakannya.
5. Mengatur
mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis,
pembatasan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran,
penghentian sementara sebagaian atau seluruh alata produksi, dan pencabutan
izin. Pada peraturan perundang – undangan sebelumnya sanksi ini tidak diatur.
Dengan
berlakunya UU ini beberapa ketentuan perundang – undangan peninggalan Belanda
dan perundang – undangan nasional dinyatakan tidak berlaku lagi.
C.
TENAGA
KERJA, ANGKATAN KERJA
1. Tenaga
Kerja (manpower) dan Angkatan Kerja
Dalam
pasal 1 angka 2 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
tenaga kerja adalah “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasikan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarat”.
Pengertian
tenaga kerja dalam UU No.13 tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian
tenaga kerja dalam UU No.14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan
yang memberikan pengertian tenaga kerja adalah “Setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”.
Pengertian
tenaga kerja dalam UU no.14 tahun 1969 tersebut digunakan kembali dalam UU no.3
tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOTEK). Oleh karena itu
perlu penyesuaian demi keseragaman pengertian dengan mengacu pada UU Ketenagakerjaan
no.13 tahun 2003 sebagai induknya.
Tenaga
kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja
terdiri dari yang bekerja dan yang masih mencari pekerjaan (pengangguran). Yang
bekerja terdiri dari yang bekerja penuh dan setengah menganggur. Setengah
menganggur memilki beberapa ciri yakni [1] Berdasarkan pendapatan, pendapatanya
di bawah ketentuan upah minuman, [2] Produktifitas,kemampuan produktifitasnya
dibawah standar yang ditetapkan, [3] menurut pendidikan dan pekerjaan, jenis
pendidikanya tidak sesuai dengan pekerjaan yang ditekuni, [4] lain-lain,jam
kerja kurang dari standar yang ada.
2. Buruh/pekerja
Pasal
1 angka 3 UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkann bahwa
pekerja/buruh adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”. Sedangkan dengan pengertian pengusaha dalam UU
no.13 tahun 2003 dijelaskan dalam pasal 1 angka 5 yaitu:
a. Orang
perorangan, persekutuan/badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri ;
b. Orang
perorangan, persekutuan/badan hukum yang menjalankan perusahaan bukan miliknya
;
c. Orang
perorangan, persekutuan/badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan-perusahaan sebagai mana tersebut dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar negeri.
D.
KONSEP
HUKUM PADA UMUMNYA HUKUM KETENAGAKERJAAN
Hukum perburuhan/ketenagakerjaan
merupakan spesies dari genus hukum umumnya. Berbicara tentang batasan
pengertian hukum, hingga saat ini para ahli belum menemukan batasan yang baku
serta memuaskan semua pihak tentang hukum, disebabkan karena hukum itu sendiri
mempunyai bentuk serta segi yang sangat beragam. Ahli hukum berkebangsaan
Belanda, J. Van kan (1983 : 13) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat lainnya dikemukakan oleh wirjono
prajadikoro (1992 : 9) yang menyatakan bahwa hukum adalah serangkain peraturan
mengenai mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat,
sedangkan satu-satunya tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan dan ketertiban
dalam masyarat. Selain itu, purnadi purbacaraka dan soerjoo soekanto (1986 :
2-4) menyebutkan 9 (sembilan). Arti hukum yakni:
1) Ilmu
pengetahuan; yakni pengetahuan yang secara sistematis atas dasar pemikiran
2) Disiplin;
yakni sebagai sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi
3) Norma;
yakni pedoman atau patokan sikap tindakan atau prilaku yang pantas atau yang
diharapkan
4) Tata
hukum; yakni sturtur dan perangkat norma-norma yang berlaku pada suatu waktu
dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis
5) Petugas;
yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yangberhubungan erat dengan
penegaan hukum
6) Keputusan
penguasa; yakni hasil-hasil proses deskrisi
7) Proses
pemerintahan; yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari
sistem kenegaraan
8) Sikap
tindakan yang ajeg atau perilakuan yang teratur; yakni perilakuan yang
diuang-ulang dengan cara yang sama yang beertujuan untuk mencapai kedamaian
dan,
9) Jalinan
nilai; yakni janinan dari konsepsi
tentang apa yang di anggap baik atau buruk.
Dalam
hukum perburuhan setidaknya mengandung unsur :
·
Himpunan peraturan (baik tertulis maupun
tidak tertulis)
·
Berkenaan dengan suatu kejadian /
peristiwa
·
Seseorang bekerja pada orang lain
·
Upah
Dari unsur unsur diatas jelaslah
bahwasubstansi hukum perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur
hubungan hukum seorang yang disebut buruh kerja pada orang lain yang disebut
majikan (bersifat keperdataan), jadi tidak mengatur hubungan hukum di luar
hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh berdasarkan peraturan
perundang – undangan saat itu yakni UU no.22 tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, memberikan pengertian buruh adalah barang siapa yang
bekerja pada majikan dengan menerima upah (pasal 1 ayat 1 huruf a), sedangkan
majikan adalah orang atau badan hukum yang memperkerjakan buruh.
E.
KAEDAH
HUKUM DAN ASAS HUKUM
Agar suatu peraturan perundang –
undangan berlaku efektif, maka secara substansial harus memperhatikan beberapa
asas yaitu :
1. Undang
– udang tidak boleh berlaku surut
2. Undang
– undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula (lex superior derogat lex impriori)
3. Undang
– undang yang bersifat khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat umum
(lex specialis derogat lex generali)
4. Undang
– undang yang baru mengalahkan undang – undang yang lama (lex posteriori
derogat lex priori)
5. Undang
– undang yang tidak dapat di ganggu gugat
6. Undang
– undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material
bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi)
Agar suatu peraturan perundang –
undangan tidak hanya sebagai huruf mati, maka perlu dipenuhi persyaratan –
persyaratan tertentu yaitu :
·
Keterbukaan dalam pembuatannya
·
Memberikan haka kepada anggota
masyarakat untuk mengajukan usulan – usulan dengan cara mengundang masyarakat
yang berminat untuk menghadiri pembicaraan terhadap peraturan tertentu dan
mengundang organisasi tertentu yang terkait untuk memberikan masukan terhadap
rancangan undang – undang yang disusun
Di dalam peraturan hukum terdapat
persyaratan formil dan persyaratan materil yang harus dipenuhi ini dikarnakan
orang ingin mendapatkan jaminan bahwa peraturan hukum tersebut akan ditaati
oleh masyarakat sehingga tidak banyak menimbulkan kesulitan dalam penegakannya.
Persyaratna formil menyangkut cara, kekuasaan dan wewenang pembuat peraturan
ditambah dengan pemenuhan persyaratan mengenai tata urutan. Sedangkan
persyaratan materiil didasarkan atas pertimbangan – pertimbangan di antaranya :
1. Kelangsungan
peraturan hukum
2. Jangkauan
pikiran jauh ke depan, sekaligus berarti mencegah lekas usangnya suatu
peraturan hukum
3. Memperpendek
jangka waktu antara peraturan dan fakta
4. Penjaminan
hak atas kepentingan warga masyarakat secara proporsional
5. Permasalahan
yang diatur secara menyeluruh
6. Mempertimbangkan
tata urutan perundang – undangan
7. Mencegah
timbulnya kemungkinan poli-interpretabilitas terhadap peraturan hukum
8. Penggunaan
bahasa
Kaedah hukum memberikan jiwa kepada
norma/kaedah hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Asas hukum dapat
dibedakan menjadi asas hukum konstitutif dan asas hukum regulatif. Asas hukum
konstitutif merupakan asas yang harus ada dalam kehidupan dalam suatu sistem
hukum, sedangkan asas hukum regulatif diperlukan untuk beroperasinya sistem
hukum tersebut. Pembentukan norma/kaedah hukum yang tidak sesuai dengan asas
hukum kontitutif akan menghasilkan norma – norma yang secara materiil bukan
merupakan kaedah hukum. Sedangkan jika asas hukum regulatif tidak diperhatikan,
maka akan menghasilkan kaedah hukum yang tidak adil. Dengan demikian dapat
dikemukakan beberapa fungsi dari asas hukum adalah :
1. Menjamin
pelaksanaan kaedah hukum sesuai dengan tujuan hukum itu
2. Menjamin
keluesan kaedah hukum dalam suatu peristiwa konkret
3. Sebagai
instrument untuk mengarahkan kaedah hukum
BAB
2
PARA
PIHAK DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
A.
BURUH/PEKERJAAN
Istilah buruh sangat populer dalam dunia
perburuhan /ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama
mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang – undangan
yang lama (sebelum undang – undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan)
menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan
dengan buruh adalah pekerja keras seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan
pekerjaan kasar, orang – orang ini disebutnya sebagai “Bule Collar”. Sedangkan
yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta dsebut sebagai
“karyawan/pegawai” (White Collar). Pembedaan yang membawa konsekuensi pada
perbedaan perlakuan dan hak – hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak
terlepas dari upaya untuk memecah belah orang – orang pribumi.
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal
perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja
di sektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini
disebutkan dalam undang – undang no.22 tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan yakni buruh adalah “barang siapa yang bekerja pada
majikan dengan menerima upah” (pasal 1 ayat 1a).
Dalam perkembangan hukum perburuhan di
indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja,
sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongser FBSI 11 Tahun 1985. Alasan
pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh
lebih cenderum menunjuk pada golongan yang selalu di tekan dan berada di bawah
pihak lain yakni majikan.
Pada masa Orde Baru istilah pekerja
khususnya Serikat Pekerja yang banyak diintervensi oleh kepentingan pemerintah,
maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehingga untuk
mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah, maka istilah tersebut
disandingkan.
Dalam RUU Ketenagakerjaan ini sebelumnya
hanya menggunakan istilah pekerja saja, namun agar selaras dengan UU yang lahir
sebelumnya yakni UU no.21 tahun 2000 yang menggunakan istilah Serikat Buruh /
Pekerja. UU no.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan pasal 1 angka 4 memberikan
pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk apapun.
Untuk kepentingan santunan jaminan
kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenagakerja (JAMSOSTEK)
berdasarkan UU no.3 Tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk :
1. Magang
dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak;
2. Mereka
yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;
3. Narapidana
yang dipekerjakan di perusahaan.
B.
PENGUSAHA
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh,
istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum UU
No.13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan.UU No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaiaan
Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah”orang atau badan hukum
yang mempekerjakan buruh”.
Sehubungan dengan hal tersebut,
perundang-undangan yang lahir kemudian seperti UU No.3 Tahun 1992 Jamsostek, UU
No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha. Dalam pasal
1 angka 5 UU No.13 tahun 2003 menjelaskan pengertian Pengusaha yakni:
1. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan sutu perusahaan
milik sendiri;
2. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagai mana dimaksud dalam huruf a,b yang berkedudukan diluar
wilayah Indonesia.
Selain
pengertian pengusaha UU no.13 Tahun 2003 juga memberikan pengertian pemberi
kerja yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan badan lainnya
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain (pasal 1 angka 4).
Sedangkan
pengertian perusahaan dalam UU no.13 Tahun 2003 adalah:
a. Setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang memperkerjakan pekerja dengan
tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan,
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan
buruh/pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun;
b. Usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (pasal 1 angka 6).
C.
ORGANISASI
PEKERJA/BURUH
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan
untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan
sewenang – wenang oleh pihak pengusa. Keberhasilan ini sangat tergantung dari
kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi
itu, maka akan semakin kuat.
Sebagai implementasi dari amanat
ketentuan pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul
mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan UU,
maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
no.98 dengan UU no.18 tahun 1956 mengenai Dasar – Dasar Hak Berorganisasi dan
Berunding Bersama Pelaksanaan UU tersebut dalam menata organisasi buruh di
Indonesia.
D.
ORGANISASI
PENGUSAHA
1. KADIN
Setelah kemerdekaan, kebutuhan adanya dunia usaha
dirasakan penting oleh pemerintah. Kemudian dibentuklah Badan Musyawarah
Pengusaha Nasional Swasta (Bamunas) melalui peraturan presiden no.2 tahun 1964.
Badan ini tidak lama berjalan karena dikeluarkannya UU no.25 tahun 1968 tentang
pernyataan tidak berlakunya berbagai penetapan dan peraturan Presiden RI,
termasuk Peraturan Presiden no.2 tahun 1964 tersebut.
Selanjutnya untuk meningkatkan peran
serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan, maka pemerintah melalui UU
no.49 tahun 1973 membentuk Kamar Dagang dan Industri (KADIN). KADIN adalah
wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian. Tujuan
KADIN adalah :
1) Membina
dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di
bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta dalam kedududkannya
sebagai pelaku – pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan
ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan pasal 33 UUD
1945;
2) Menciptakan
dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas
– luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan serta secara efektif
dalam pembangunan nasional.
2. APINDO
Organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO). APINDO lahir didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam
pembangunan nasional dalam rangka turut serta dalam mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur, maka pengusaha Indonesia harus ikut serta secara aktif
mengembangkan peranannya sebagai kekuatan sosial dan ekonomi.
Asosiasi
Pengusaha Indonesia adalah suatu wadah kesatuan para penguasa yang ikt serta
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melali kerja sama yang
terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja.
Tujuan
APINDO menurut pasal 7 Anggaran Dasar adalah
1. Mempersatukan
dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya di dalam bidang
sosial ekonomi;
2. Menciptakan
dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan kerja dalam lapangan
hubungan industrial dan ketenagakerjaan.
3. Mengusahakan
peningkatan produktifitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk
mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual dan
materiil
4. Menciptakan
adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan kebijakan / ketenagakerjaan dari
para pengusaha yang disesuaikan dengan kebijakan pemerintah.
E.
PEMERINTAH/PENGUASA
Campur tangan pemerintah (penguasa)
dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan
perburuhan/ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan
pengusaha yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan
perburuha/ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan
selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah ikut campur
tangan melalui peraturan perundang undangan untuk memberikan jaminan kepastian
hak dan kewajiban para pihak.
Sebagai institusi yang bertanggung jawab
terhadap masalah ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja juga dilengkapi dengan
berbagai lembaga yang secara teknis membidangi hal – hal khusus antara lain :
1. Balai
Latihan Kerja
2. Balai
Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI)
Pengawasan terhadap peraturan di bidang
perburuhan ketenagakerjaan dilakukan oleh Depnaker (cq. Bidang Pengawasan).
Secara normatif pengawasan perburuhan di atur dalam UU no.23 tahun 1948 jo. UU
no.3 tahun 1951 tentang pengawasan perburuhan. Dalam UU ini pengawas perburuhan
yang merupakan penyidik pegawai negeri sipil memiliki wewenang;
a) Mengawasi
berlakunya UU dan peraturan peraturan perburuhan pada khususnya
b) Mengumpulkan
bahan – bahan keterangan tentang soal – soal hubungan kerja dan keadaan
perburuhan dalam arti yang seluas – luanya guna membuat UU dan peraturan
perundang – undangan
c) Menjalankan
pekerjaan lainnya yang diserahkan sesuai dengan peraturan perundang – undangan
Peran pegawai pengawas sebagai penyidik
PNS ini diakui dalam UU no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yakni selain
penyidik penjabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (pasal 182
ayat 1). Penyidik Pegawai Negeri Sipil ini berwenang:
a. Melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan
b. Melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang
ketenagakerjaan
c. Meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tidak
pidana dibidang ketenagakerjaan
d. Melakukan
pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana
dibidang ketenagakerjaan
e. Melakukan
pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan
f. Meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyelidikan tindak pidana
dibidang ketenagakerjaan
g. Menghentikan
penyelidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Secara kuantitas aparat pengawas
perburuhan sangat terbatas jika dibandingkan dengan jmlah perusahaan yang harus
diawasi, belum lagi pegawai pengawas tersebut harus melaksanakan tugas – tugas
administratif yang dibebankan kepadanya. Demikian yang kualitatif dalam
melaksanakan tugas sebagai penyidik yang masih terbatas. Karena itu untuk ke
depan aparat pengawas selanharus di tingkat kualitasnya, hendaknya juga tidak
memberikan tugas – tugas adminstratif, tetapi diberikan jabatan fungsional
sehingga dapat melaksanakan tugas secara profesional.
BAB 3
Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan
antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjajian kerja.
Dalam pasal 1 angka 15 Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebut bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah.
dari pengertian ini jelas bahwa
hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Subtitusi perjanjian kerja
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian pemburuh atau
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB)yang ada. Maka
dari itu dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hubungan kerja ketiganya yang
dibahas secara terpadu karena merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan sebagai komponen hubungan ini dustrial.
A.
PERJANJIAN
KERJA
1. Pengertian
Perjanjian Kerja
Perjanjian
kerja dalam bahasa Belanda disebut
Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengetian. Pasal 1601 a KUHP
Perdata memberikan pengertian sebagai berikut :
“perjanjian kerja
adalah suatu perjanjian dimana pihak ke satu (si buruh), mengikatkan dirinya
untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu
melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Undang
– Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan
pengertian yakni :
“perjanjian kerja
adalah suatu perjanjian antara pekerjaan buruh dan pengusaha atau Pemberi kerja
yang memuat syarat – syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”
Selain
pengertian normatif, Iman Soepomo (53:1983) berpendapat bahwa perjanjian dimana
pihak kesatu (buruh),mengikat diri untuk bekerja dengan menerima upah dari
pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan
buruh dengan membayar upah. Ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah
perintah pihak lain”, di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara
pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi).
Sedangkan
pengertian perjanjian kerja menurut Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada
hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat
pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya.
Pengertian
perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini tidak
menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis, demikian juga
mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur
dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
2. Unsur-unsur
dalam Perjanjian Kerja
Berdasarkan
pengertian perjanjian kerja di atas, dapat ditarik beberapa unsur dari
perjanjian kerja yakni :
a. Adanya
unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian
kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan
tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seijin majikan
dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHP Pasal 1603a yang
berbunyi :
“ Buruh wajib melakukan
sendiri pekerjaannya; hanya dengan siizin majikan ia dapat menyuruh orang
ketiga menggantikannya.”
Sifat pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan
keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka
perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b. Adanya
Unsur Perintah
Manifestasi dari
pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang
bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan yang lainnya, misalnya hubungan dokter dengan pasiennya, hubungan
pengacara dengan kliennya. Karena hubungan tersebut bukan merupakan hubungan
kerja. Karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien.
c. Adanya
Upah
Upah memegang peranan
penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa
tujuan pertama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh
upah. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan
tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan
di hotel.
3. Syarat
Syahnya Perjanjian Kerja
Sebagai
bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi
syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHP. Ketentuan
ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar :
1) Kesepakatan
kedua belah pihak;
2) Kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan;
4) Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah
pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha
cakapmembuat perjanjian. Ketentuan hukum Ketenagakerjaan memberikan batasan
umur minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut
tidak terganggu jiwanya/waras.
Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal
yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur
perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat tersebut
bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa
perjanjian tersebut sah.
4. Bentuk
dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Perjanjian
kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat 1
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Secara nurmatif bentuk tertulis menjamin
kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan
sangat membantu proses pembuktiaan.
Dalam
Pasal 54 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat
keterangan :
a) Nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b) Nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c) Jabatan
atau jenis pekerjaan;
d) Tempat
pekerjaan;
e) Besarnya
upah dan cara pembayaran;
f) Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g) Mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h) Tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i)
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu
tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih
menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan
berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh
mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59 ayat Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
Ø Pekerjaan
yang sekali selesai tau yang sementara sifatnya;
Ø Pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
Ø Pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
Ø Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
5. Kewajiban
Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
a. Kewajiban
Buruh/Pekerja
Dalam KUHP ketentuan
mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b, dan
1603c KUHP yang pada intinya adalah sebagai berikut:
Ø Buruh/pekerja
wajib melakukan pekerjaan;
Ø Buruh/pekerja
wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha;
Ø Kewajiban
membayar ganti rugi dan denda;
b. Kewajiban
Pengusaha
Beberapa macam
kewajiban pengusaha adalah:
Kewajiban membayar upah;
Kewajiban memberi istirahat atau cuti;
Kewajiban mengurus perawatan dan
pengobatan;
Kewajiban memberikan surat keterangan.
Kewajiban pekerja/buruh yang telah dipaparkan
di atas merupakan hak pengusaha atau pemberi kerja, sebaliknya kewajiban
pengusaha merupakan hak pekerja.
B.
PERJANJIAN
PERBURUHAN / KESEPAKATAN KERJA BERSAMA (KKB) / PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
Istilah
Perjanjian Perburuhan dikenal dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan,
undang-undang ini merupakan salah satu dari undang-undang yang dinyatakan dicabut
dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang
No. 21 Tahun 1954 lahir pada saat bangsa kita menganut demokrasi liberal,
sehingga semangat undang-undang ini juga tidak lepas dari filosofi tersebut.
Konsep
tersebut tidak sesui dengan kepribadian bangsa, dan sejalan dengan perkembangan
yang terjadi dalam hukum perburuhan khususnya dengan lahirnya konsepsi Hubungan
Industri Pancasila (HIP), maka istilah Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang
dalam pembuatannya mengemukakan musyawarah dan mufakat sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila.
1. Pengertian
Perjanjian Perburuhan/KKB/PKB
Dalam
KUHP Pasal 1601n disebut bahwa Perjanjian Perburuhan adalah peraturan yang
dibuat oleh seorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan hukum
dan atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum, mengenai syarat-syarat
kerja yang harus diidahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.
Dari
pengertian tersebut diatas tampak adanya perbedaan yakni menurut ketentuan
dalam KUHP serikat buruh sebagai pihak yang membuat perjanjian
perburuhandisyaratkan harus berbadan hukum, sedangkan menurut Undang-Undang No.
21 Tahun 1954 hanya cukup terdaftar dikementriaan perburuhan (sekarang
Depnaker).
Pengertian
ini hampir sama dengan pengertian KKB berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun
1997, hanya saja pengertian dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyesuaikan
diri dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja yang
mensyaratkan serikat buruh/pekerja yang terbentuk harus memberitahukannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dicatat.
Untuk
keseragaman dalam pembuatan PKB, Mentri Tenaga Kerja melalui Peraturan Menteri
No. 01 Tahun 1985 menetapkan tata cara pembuatan Kesepakatan Kerja
Bersama/Perjanjian Kerja Bersama yang ruang lingkup substansi yang diatur
sebagai berikut:
Ø Pihak
– pihak yang membuat KKB/PKB;
Ø Ketentuan
umum, yaitu cakupan/luas keberlakuan dari PKB;
Ø Hal-hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan kerja;
Ø Mengenai
hari kerja dan jam kerja, termasuk lembur, istirahat, dan cuti;
Ø Mengenai
dispensasi bagi pekerja untuk tidak bekerja;
Ø Pengupahan;
Ø Hal-hal
yang berkaitan dengan jaminan sosial;
Ø Aturan
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja;
Ø Mengenai
tata tertib kerja, disiplin di tempat kerja, termasuk peringatan dan skorsing;
Ø Cara
menyelesaikan perselisihan;
Ø Mengenai
masa berlaku, perubahan dan perpanjangan PKB.
Dibandingkan dengan CBA (Collective
Bargaining Agrement) di Amerika Serikat, pihak pekerja mempunyai keleluasaan
untuk menentukan hal-hal yang tercantum dalam CBA. Pada umumnya CBA akan memuat
hal-hal sebagai berikut (Hill Rosen: 90).
ü Recognition
ü Successorship
ü Management
rigts
ü Union
Shop
ü Dues
Check off
ü Probationary
employees
ü Discipline
and discharge
ü Discrimination
ü Senioriti
ü Work
preservation
ü Working
condition
ü Work
schedule
ü Rates
and classificasions
ü Holidays
ü Vacation
ü Other
pay provisions
ü Pension
and insurance program
ü Grievance
procedure
ü Arbitration
ü No
atrike or lock out
ü Separabiliti
ü Reopening
ü Wrap
up clause
ü Duration
up contract
2. Para
Pihak Yang Membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
PKB
disusun oleh pengusaha dan serikat pekerja yang terdaftar dan dilaksanakan
secara musyawarah untuk mencapai mufakat. PKB hanya dapat dirundingkan dan
disusun oleh serikat pekerja yang didukung oleh sebagian besar pekerja di
perusahaan yang bersangkutan.
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat
satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut
berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama dengan pengusaha apa bila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan (Pasal 119 ayat 1).
Jika
dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja buruh
maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha
yang jumlah keanggotaanya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut (Pasal 120 ayat 1).
Ketentuan
tentang tata cara pembuatan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana paparan diatas
menunjukkan bahwa buruh/pekerja maupun pengusaha harus menjunjung tinggi asas
demokrasi khususnya dalam menentukan serikat buruh/pekerja yang paling berhak
membuat PKB dengan pihak pengusaha.
3. Masa
Berlakunya PKB
Masa
berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali
untuk paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara
serikat buruh/pekerja dengan perusahaan.
Dalam
Pasal 124 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebut bahwa Perjanjian Kerja
Bersama paling sedikit memuat:
ü Hak
dan kewajiban pengusaha;
ü Hak
dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja;
ü Jangka
waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
ü Tanda
tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Ketentuan
ini menggariskan tentang acuan hukum dalam membuat berbagai perjanjian dalam
hubungan kerja, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai perjanjian induk di
perusahaan dalam pembuatannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, demikian halnya dengan perjanjian kerja substansinya tidak boleh
bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
4. Perbedaan
Antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Berdasarkan
uraian mengenai Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana
uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa perbedaanya.
5. Hubungan
antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Dalam
pembuatan perjanjian kerja harus mengacu atau mempedomani Perjanjian
Perburuhan/Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dengan kata lain perjanjian kerja
harus menjabarkan isi dari pada PKB.
Dengan
demikian perjanjian kerja tidak dapat mengenyampingkan isi PKB tapi sebaliknya
PKB dapat mengenyampingkan isi perjanjian kerja. Dengan demikian dapat
dikemukakan beberapa hal yang merupakan hubungan perjanjian kerja dengan PKB
adalah:
a) Perjanjian
perburuhan/PKB merupakan perjanjian induk dari perjanjian kerja;
b) Perjanjian
kerja tidak dapat mengenyampingkan Perjanjian Perburuhan/PKB, bahkan sebaliknya
Perjanjian Kerja dapat dikesampingkan oleh Perjanjian Perburuhan/PKB jika
isinya bertentangan;
c) Ketentuan
yang ada dalam Perjanjian Perburuhan /PKB secara otomatis beralih dalam isi
perjanjian kerja yang dibuat;
d) Perjanjian
Perburuhan/PKB merupakan jembatan untuk menuju perjanjian kerja yang baik.
Dengan sifat pengaturan dari isi
Perjanjian Perburuhan atau PKB tersebut yang tidak dapat ditawar-tawar lagi
karena harus dijabarkan dalam perjanjian kerja, maka tidak berarti terjadi
pembatasan kebebasan berkontrak bagi para pihak karena batasan dari asas
tersebut adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
C.
PERATURAN
PERUSAHAAN
Dalam
peraturan perusahaan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No.
02/MEN/1976 disebut bahwa peraturan perusahaan adalah suatu peraturan yang
dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
syarat-syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan dan memuat
tata tertib perusahaan.
Dari
pengertian tersebut jelaslah bahwa peraturan perusahaan dibuat secara sepihak
oleh pengusaha yang berisikan tentang syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja
dan pengusaha dan tata tertib perusahaan.dengan kata lain peraturan perusahaan
merupakan petunjuk tehknis dari PKB maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh
pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.
Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat
peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh menteri atau
pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah
memiliki perjanjian kerja sama (Pasal 108 ayat 2).
Dalam hal di perusahaan
yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja atau serikat buruh, wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud diatas adalah pekerja/buruh yang dipilih
secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja atau buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
Peraturan perusahaan
sekurang-kurangnya memuat:
a) Hak
dan kewajiban pengusaha;
b) Hak
dan kewajiban pekerja/buruh;
c) Syarat
kerja;
d) Tata
tertib perusahaan;
e) Jangka
waktu berlakunya peraturan perusahaan (Pasal 111 ayat 1).
Ketentuan dalam peraturan perusahaan
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama dua tahun, dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya (Pasal 111 ayat 3).
Dalam hal perundingan pembuatan
perjanjian kerja sama tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan
tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya (Pasal 111 ayat 5).
BAB 4
ASPEK – ASPEK HUKUM KETENAGAKERJAAN
INDONESIA
Dalam
pasal 1 ayat 1 UU no.13 tahun 2003 menyebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja. Pengertian ini sangat sesuai dengan perkembangan
ketenagakerjaan saat ini yang sudah sedemikian pesat investasi pemerintah.
Karena itulah subtansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi
hubungan antara buruh dan pekerja dalam hubungan kerja semata, tetapi telah
bergeser menjadi hubungan hukum antara pekerja, pengusaha dan pemerintah yang
substansi kajian tidak hanya mengatur hubungan hukum dalam hubungan kerja saja
(during employment), tetapi mulai sebelum hubungan kerja (pra employment)
sampai setelah bungan kerja (post employment). Konsep Ketenagakerjaan inilah
yang dijadikan acuan untuk mengkaji perangkat hukum yang ada sekarang, apakah
sudah meliputi bidang – bidang tersebut atau belum.
A.
ASPEK
HUKUM KETENAGAKERJAAN SEBELUM HUBUNGAN KERJA (PRA EMPLOYMENT)
Bidang
hukum ketenagakerjaan sebelum hubungan kerja adalah bidang hukum yang berkenaan
dengan kegiatan mempersiapkan calon tenaga kerja sehingga memiliki keterampilan
yang cukup untuk memasuki dunia kerja, termasuk upaya untuk
memperoleh/mengakses lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri
mekanisme yang harus dilalui oleh tenaga kerja sebelum mendapatkan pekerjaan.
Bidang – bidang tersebut meliputi :
1. Antar
Kerja Antar Daerah (AKAD) atau Penempatan Tenaga Kerja di dalam Negeri
a. Maksud
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
Antar kerja adalah mekanisme pelayanan kepada
pencari kerja untuk memperoleh pekerjaan, baik untuk sementara waktu maupun
tetap kepada pemberi kerja untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan
kebutuhannya. AKAD adalah antar kerja yang dilaksanakan antar kantor – kantor
wilayah Departement Tenaga Kerja yang satu dengan yang lainnya dalam suatu
wilayah/provinsi. Pengisian lowongan kerja melalui mekanisme AKAD tersebut
merupakan upaya ke arah penyebaran tenaga kerja yang merata dalam rangka
pelaksanaan pembangunan di daerah – daerah yang potensial dengan sumberdaya
alamnya akan tetapi kekurangan dalam sumber daya manusianya.
Program AKAD juga menunjang pelaksanaan transmigrasi
untuk membuka lahan – lahan pertanian maupun pemukiman baru serta sarana dan
prasarana transmigrasi lainnya. Program ini dilaksanakan melalui kerja sama
dengan Pemerintah Daerah setempat serta instansi – instansi yang ada kaitannya
dengan kegiatan tersebut. Istilah Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) kini sudah
tidak berlaku lagi dan diganti dengan istilah Penempatan Tenaga Kerja di dalam
Negeri.
b. Persyaratan
AKAD/Penempatan Tenaga Kerja di Dalam Negeri
Setiap penempatan tenaga kerja di dalam negeri harus
dilaksanakan dengan Surat Persetujuan Penempatan (SPP). Penggunaan jasa
pelaksana penempatan ditetapkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Mampu
membuat dan menandatangani perjanjian kerja dengan tenaga kerja
2. Mempunyai
alamat dan nama penanggung jawab yang jelas
3. Sanggup
dan mampu memenuhi serta melaksanakan keseluruhan isi perjanjian kerja yang
berlaku secara sah.
Setiap calon tenaga kerja yang
mempersiapkan untuk dipekerjakan di dalam negeri harus memenuhi persyaratan
umum sebagaimana tersebut di bawah ini :
1. Berusia
minimal 18 tahun dan memiliki KTP
2. Sehat
secara mental dan fisik
3. Berpendidikan
tertentu, memiliki keterampilan atau keahlian sesua dengan persyaratan jabatan
atan pekerjaan yang diperlukan.
4. Terdaftar
pada Kantor Departement Tenaga Kerja di wilayah tempat tinggalnya.
Penempatan tenaga kerja lokal antar
daerah dilaksanakan secara tertib, efisien, efektif, dan diberikan kemudahan
serta diharapkan mampu memenuhi permintaan pasar kerja yang sesuai dengan
perkembangan kesempatan kerja di dalam Negeri.
2. Antar
Kerja Antar Negara (AKAN) atau Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri
a. Lahirnya
UU no.39 tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
ke Luar Negeri
Melalui
UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang
Indonesia untuk Melakukan Pekerjaan di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku
lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri di atur dengan UU
tersendiri. Peraturan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri sudah
seharusnya diatur dengan UU karena :
1. Bekerja
merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin
penegakannya
2. Hak
setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak baik
di dalam maupun d luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,
minat, dan kemampuan
3. Dalam
kenyataan selama ini tenaga kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri sering
dijadikan objek perdagangan manusia, kerja paksa, korba kekerasan, kesewenang –
wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang
bertentangan dengan hak asasi manusia
4. Negara
wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya baik yang bekerja di
dalam negeri maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan gender dan anti diskriminasi
5. Penempatan
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara
instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dan peran serta masyarakat dalam
suatu produk hukum yang memadai guna memberikan perlindungan yang maksimal.
b. Maksud
Penempatan Kerja ke Luar Negeri
Setiap
orang membutuhkan pekerjaan, pekerjaan tidak hanya untuk memperoleh penghasilan
bagi seseorang memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya, tetapi
juga dapat dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga
seorang merasa hidupnya menjadi lebih bermakna bagi dirinya sendiri.
Mengingat pentingnya
pekerjaan ini, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa setiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sejalan
dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan
besarnya jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula
kasus perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI khususnya TKI yang bekerja di luar
negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam dan bahkan
berkembang ke arah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai
kejahatan kemanusiaan.
Untuk
itulah setelah melalui proses yang panjang akhirnya pemerintah Indonesia sudah
berhasil menetapkan UU no.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI
di Luar Negeri. Kehadiran UU ini tentunya sangat positif dalam perlindungan TKI
yang bekerja di luar negeri karena memiliki perangkat hukum yang kuat khususnya
dalam mengatur hak dan kewajiban pihak – pihak yang terlibat di dalamnya
khususnya tenaga kerja dan pelaksanaan penempatan tenaga kerja ke luar negeri.
c. Para
Pihak dalam Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri
Pihak
– pihak yang terkait dengan pelaksanaan penempatan tenaga kerja keluar negeri
terdiri dari calon tenaga kerja yang hendak bekerja ke luar negeri, pelaksanaan
penempatan TKI swasta yang berbentuk Perusahaan Terbatas (PT) dan memiliki izin
dari Menteri Tenaga Kerja, mitra usaha dan penggunaan jasa TKI.
Pelaksaan
penempatan TKI swasta yang akanmenempatkan TKI ke luar negeri harus terlebih
dahulu membuat Perjanjian Kerja Sama Penempatan yang dibuat secara tertulis
dengan Mitra Usaha atau Pengguna yang memuat syarat – syarat kerja, hak dan
kewajiaban masing – masing pihak. Hal ini penting bagi calon TKI tentang adanya
jaminan kepastian penempatan yang akan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI
dengan mitra usaha atau pengguna jasa TKI di luar negeri.
d. Pelaksanaan
dan Prosedur Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri
UU
no.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri
mengenai Pelaksanaan Penempatan TKI dan Prosedur Penempatan ini diatur sebagai
berikut :
1. Lembaga
Penempatan Tenaga kerja
Dalam pasal 10 UU no.39
tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri menetapkan
pelaksana penempatan TKI di luar negeri yakni :
a. Pemerintah
b. Pelaksanaan
penempatan TKI swasta
Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta wajib
mendapat izin tertulis berupa Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI (SIPPTKI)
dari menteri Tenaga Kerja (Pasal 12).
Selain oleh Pemerintah dan pelaksana
penempatan TKI swasta, perusahaan dapat menempatkan TKI di luar negeri untuk
kepentingan perusahaannya sendiri atas dasar izin tertulis dari Menteri (Pasal
26 UU no.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri).
Penempatan TKI ke luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri, harus
memenuhi persyaratan :
a. Perusahaan
yang bersangkutan harus berbadan hukum yang berbentuk hukum yang dibentuk
berdasarkan hukum Indonesia.
b. TKI
yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri
c. Perusahaan
memiliki bukti hubungan kepemilikan atau perjanjian pekerjaan yang diketahui
oleh Perwakilan Republik Indonesia
d. TKI
telah memiliki perjanjian kerja
e. TKI
telah diikutsertan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan/atau memiliki
polis asuransi
f. TKI
yang ditempatkan wajib memiiki kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)
2. Tata
Cara Penempatan
Kegiatan penempatan TKI
ke luar negeri disebutkan dalam Pasal 31 meliputi :
a) Pengurusan
surat izin penyerahan
b) Perekrutan
dan seleksi
c) Pendidikan
dan pelatihan kerja
d) Pemeriksaan
kesehatan dan psikologi
e) Pengurusan
dokumen
f) Uji
kompetensi
g) Pembekalan
akhir pemberangkatan
h) pemberangkatan
B.
ASPEK
HUKUM KETENAGAKERJAAN SETELAH HUBUNGAN KERJA/PHK (POST EMPLOYMENT)
1. Pemutusan
Hubungan Kerja / PHK
a. Penertian
pemutusan hubunga kerja(PHK)
Perumusan
hubungan kerja bagi perusahaan swasta di atur dalam Undang Undang No. 12 Tahun
1964. PHK aalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang
terjadi karena berbagai sebab. Undng UndangNo. 1 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara buruh/pekerja dengan pengusaha (pasal 1 angka 25). Undang Undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK tidak termasuk
Undang Undang yang di cabut oleh Undang Undang No.1 Taun 2003. Saat ini sedang
di bahas RU penyelesaia Perseisihan Hubungan Indusrial yang akan menggantikan
Undang Undang No. 12 Tahun 1964 Tersebut.
b. Ketentuan
PHK
a) pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 bulan.
b) pekerja/buruh
berhalangan untuk bekerja karena memenuhi kewajiban negara
c) pekerja/bru
menjalankan ibadah
d) pekerja/buruh
menikah
e) pekerja/buruh
perempuan hamil, menyusui, keguguran dll
f) pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja yang lain
di dalam suatu perusahaan
g) pekerja/buruh
mendirikan atau menjadianggota pengurus serikat buruh dan melakukan kegiatan
serikat buru di luar atau di dala jam kerja.
h) pekerja
atau buruh yang mengaukan pengaduan kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yangmelakukan tindak pidana kejahatan.
i)
karena perbedaan paham agama, budaya ,
politik, suku dll
j)
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap,
sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja.
c. Jenis
Jenis PHK
1. Pengusaha
dapat memutuskan hubungan kerja terhadap buruh dengan alasan buruh telah
melakukan kesalah berat sebagai berikut:
a. melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang/uang milik perusahaan
b. memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.
c. mabuk,
meminum minuman keras yang memabukkan , memakai narkotika dan zat aditif
lainnya.
d. melakukan
perbuatan asusila dan perjudian di lingkungan kerja.
e. membujuk
atau mengajak pekerja yang lain melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
perundang undangan.
f. dengan
ceroboh sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian pada perusahaan.
g. dengan
ceroboh sengaja membiarkan teman sekerja dalam keadaan berbahaya di tempat
kerja.
h. melakuka
perbuata lainnya di lingkungan perusahaan yang di ancam pidana penjara minimal
5 tahun atau lebih.
Kesalahan
berat di maksut harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
z Pekerja/buruh
terangkap tangan
z Ada
pengakuan dari buruh yang bersangkutan atau
z Bukti
lain berupa laporan kejadian yang di buat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan di dukung oleh sekurang kurang 2 orang saksi.
Pekerja/buruh yang di puts hubungan
kerjanya berdasarkan alasan berat dapat memperoleh uang penggatian hak
sebagaimana di atur dalam pasal 156 ayat 4 Undang Undang No.1 Tahun 2003.
Jika pekerja di tahan oleh pihak yang
berwajibkarena melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha tidak
wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga atau
pekerja yang menjadi tanggunganya dengan ketentun sebagai berikut.
a. Untuk
1 orang tanggungan : 25% dari upah
b. Untuk
2 orang tanggungan : 35% dari upah
c. Untuk
3 orang tanggungan : 45% dari upah
d. Untuk
4 orang tanggungan atau lebih : 50% dari upah
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) di berikan untuk paling lama 6 bulan takwin terhitung sejak hari pertama
pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 bulan tidak
dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara
pidana.
Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
status,penggabungan,peleburan,atau perubahan kepemilikan perusahaan dan
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan pekerja,maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sbesar 1 kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat ( 2),
uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam pasal 156 ayat (4) (Pasal 163 ayat
1).Tetapi jika pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya,maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali
ketentuan pasal 156 ayat (2),uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (3),dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156
ayat (4) (Pasal 163 ayat 2).
Selain itu pengusaha juga dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang di sebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selam
2 tahun , atau keadaan memaksa (force
majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) (Pasal 164 ayat 1).Pengusaha juga dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 tahun berturut turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melkukan efesiensi , dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) , uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat ayat (4) (Pasal 164 ayat 3).
Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila
pengusaha telah mengikut pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya di
bayar penuh oleh pengusaha , maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang
pesangon ketentuan Pasal 156 ayat (2) , uang penghargaan masa kerja sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) (Pasal 164 ayat 1).
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5
(hari) kerja atau lebih berturut turut tanpa keterangan secara tertulis yang
dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah panggil oleh usaha pengusaha 2 kali
secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.Kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan
diberika uang pisah yang besarnya dan pelaksanaanya diatur dalam perjanjian
kerja , peraturan perusahaan , atau perjanjian kerja bersama.
2. Pemutusan
hubungan kerja oleh buruh/pekerja.
Buruh
berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha, karna pada
prinsipnya buruh tidak bolh di paksaka untk terus menerus bekerja bilamana ia
sendiri tidak menghendakinya.
Pekerja/buruh
dapat mengajukan permuohnan pemutusan hubngan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrialdalam hal pengusahamelakukan perbuatan sebagai
berikut:
a. Menganiaya,
menghina, secara kasar atau mengancam buruh/pekerja.
b. Membujuk
dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang undangan.
c. Tidak
tepat membayar upah tepat pada waktu yang telah di tentukan selama 3 bulan
berturut turut atau lebih.
d. Tidak
melakuka kewajiban yang telah di janjikan kepada pekerja/buruh
e. Memerintah
pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperanjikan. Atau
f. Memberikan
pekerjaan yang membahaykn jiwa, keselmatan , kesehatan dan ksusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak di cantumkan pada perjanjian
kerja (pasal 169 ayat 1)
Pemutusan hubungan kerja denga alasan
sebagai mana di maksut di atas berhak mendapatkan uang pesangon 2 kali ketentuan
pasal 156 ayat 2.
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan
kerja dengan melakukan pengunduran diri atas kemauan sediri tanpa prlu meminta
penempatan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubunga industrial, dan
kepada buruh/pekerja yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai
ketentuan pasal 156 ayat 4.
Pekerja/buruh
yang mengundurkan diri sebagaimana yang di maksud di atas harus memenuhi
syarat:
a. Mengajukan
permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat lambatnya 30 hari sebelum tanggal
pengunduran diri.
b. Tidak
terikat dalam ikatan dinas
c. Tetap
melaksanakan kewajibanya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
3. hubungan
kerja putus demi hukum
Selain
pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja. Hubungan kerja juga
dapat putus karena hukum, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari
lembaga yang berwenang sebagaimana di atur dalam pasal 154 undang undang No. 13
tahun 2003 sebagai berikut:
a
Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan
kerja , bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b
Pekerja/buruh mengajukan permintaan
pengunduran diri , secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adaya tekanan/intimidasi dari pengsaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c
Pekerja/buruh mencapai usia pensiun
sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang undangan; atau
d
Pekerja/buruh meninggal dunia.
4. Pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan
Yang
dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan
(majikan/buruh) berdasarkan alasan penting.Dalam Pasal 1603 v KUH Perdata
disebutkan tiap pihak (buruh,majikan) setiap waktu, juga sebelum pekerjaan di
mulai berwenang berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan tertulis
kepada pengadilan di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk menyatakan
perjanjian kerja putus.
Alasan
penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi
atau kekayaan permohonan atau perubahan keadaan dimana pekerjaan yang di
lakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan
hubungan kerja.Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengadilan atas
permintaan pihak majikan tidak memerlukan izin dari P4D atau P4P.
Pengaturan
penyelesaian PHK dalam hukum Ketenagakerjaan kita pada masa yang akan datang
sesuai dengan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Industrial dilakukan oleh
Pengadilan Perselisihan Industrial yang merupakan peradilan ad hoc di
Pengadilan Negeri.
2. Hak-hak
Tenaga Kerja yang di PHK
Bilamana
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima (Pasal 156).
a. Uang
Pesangon
Uang pesangon merupakan pembayaran dalam bentuk uang
dari pengusaha kepada buruh/pekerja sebagai akibat adanya PHK yang jumlahnya
disesuaikan dengan masa kerja buruh/pekerja yang bersangkutan. Perhitungan uang
pesangon di atur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sebagai berikut:
a. Masa
kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
b. Masa
kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun,2 bulan upah;
c. Masa
kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
d. Masa
kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun , 4 bulan upah;
e. Masa
kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
f. Masa
kerja 5tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
g. Masa
kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
h. Masa
kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
i.
Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan
upah (Pasal 156 ayat 2).
b. Uang
Penghargaan Masa Kerja
Perhitungan
uang penghargaan masa kerja di tetapkan sebagai berikut:
a. Masa
kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
b. Masa
kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
c. Masa
kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
d. Masa
kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
e. Masa
kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
f. Masa
kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
g. Masa
kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah
h. Masa
kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah (Pasal 156 ayat 3)
c. Uang
Penggantian Hak
Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:
a. Cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya
atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya di tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantinya
perumahan serta pengobatan dan perawataan di tetapkan 15% dari uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. Hal-hal
lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama (Pasal 156 ayat 4).
Kompenen upah yang digunakan sebagai
dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
pengganti hal yang seharusnya di terima yang tertunda terdiri atas:
a. Upah
pokok
b. Segala
macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang di berikan kepada pekerja/buruh
dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang di berikan kepada
pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh
dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh
dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama
dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157 ayat 2).Sedangkan untuk upah
pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan
atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata
perhari selama 12 bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
3. Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Khususnya Untuk Program Kematian dan Hari Tua
Jaminan
sosial tenaga kerja khususnya program kematian dan hari tua termasuk dalam
aspek hukum perburuhan/ketenagakerjaan setelah hubungan kerja karena perolehan
hak-hak tersebut setelah putusnya hubungan kerja. Pembahasan terhadap kedua
program Jamsostek ini dilakukan pada pembagian pembahasan Jamsostek.
Dari
pembahasan tentang Jamsostek ini menurut hemat penulis terdapat beberapa hal
yang harus di benahi:
1. Secara
kelembagaan pengelolaan Jamsostek sekarang ini dilakukan leh perusahaan negara
yakni PT (Persero) Jamsostek. Bentuk ini memiliki kelemahan karena PT.Bermotif
mencari keuntungan (provit oriented),
padahal jaminan sosial tenaga kerja merupakan bentuk perlindungan sosial
melalui sistem asuransi sosial.
2. Saat ini saham Jamsostek 100% dikuasai oleh
pemerintah, padahal sumber keuangannya dari iuran pekerja dan pengusaha. Akibatnya
semua keuntungan perusahaan (deviden) dinikmati oleh pemerintah, bukan oleh
pekerja sumber keuangannya.
Demikian uraian
buku ini yang telah disusun berdasarkan konsep ketenagakerjaan dalam
Undng-Undang No. 13 Tahun 2003, penulis yakin buku ini akan sangat membantu
mahasiswa dalam mendalami Hukum Ketenagakerjaan, demikian pula bagi kalangan
buruh/pekerja dan pengusaha akan sangat bermanfaat sebagai pedoman dalam
pelaksanaan hubungan kerja sehingga tercapai hubungan industrial yang kondusif
sebagai syarat mutlak keberhasilan suatu usaha.
Kemajuan yang telah banyak dicapai dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 khususnya dari segi substansinya harus didukung
oleh kesadaran pihak pengusaha, buruh/pekerja dan pengawasan/penegakan hukum
oleh pemerintah. Sehingga pihak-pihak tersebut dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya secara baik.
Sanksi yang cukup berat di atur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan ini seharusnya di jatuhkan sebagai upaya terakhir
setelah upaya lain ditempuh karena pemberian sanksi bagi pengusaha secara tidak
selektif akan berakibat pada pengurangan jumlah buruh/pekerja yang dapat
menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran.
Selain itu untuk sanksi administratif
perlu segera dikeluarkan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai hubungan
prosedural antara pegawai pengawas sebagai penyidik PNS dengan instansi
pemerintah kompoten dalam penegakan sanksi administratif, hal ini penting untuk
memudahkan koordinasi dalam penegakan hukumnya.
Mbak, mau kasih masukan, warna fontnya bisa diganti? soalnya kita yg baca ga keliatan.
BalasHapusThanks
Live Casino Games by Microgaming - LuckyClub
BalasHapusPlay Live Casino Games by Microgaming at LuckyClub - the most popular casino game. Get your free spins when you luckyclub join ✓ Sign up & start winning today!